Menuju Cinta Hakiki

Menuju Cinta Hakiki

********
Mencermati perjalanan kata “cinta” di tengah manusia adalah suatu hal yang mengherankan bagi penuntut kehidupan kekal abadi, pengelana ke negeri akhirat. Dalam kehidupan ini, banyak insan rela untuk berkorban bagi siapa yang dia cintai, tidak peduli dengan rintangan yang harus dihadapi guna membuat yang dia cintai tenang dan bahagia. Betapa dia memberikan perhatian kepada kecintaannya dan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhannya. Terasa hatinya gundah-gulana tatkala yang dicintainya dirundung duka dan kesedihan. Atau amatlah besar kepedihan hati dan kesengsaraan tatkala dia mendapatkan dari yang dia cintai ada yang selain dari apa yang dia harapkan.

Memang merupakan tabiat manusia untuk mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya, atau paling tidak membalas budi kepadanya, dan ini adalah dasar pokok tumbuhnya cinta pada sebagian manusia kepada sebahagian lainnya. Namun, bukankah segala nikmat dan kebaikan yang dia dapatkan dari orang yang dicintainya adalah berasal dari Allah?

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kalian ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kalian meminta pertolongan.” [An-Nahl: 53]

Adakah suatu nikmat yang dia berikan kepada orang yang dia cintai tidak berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, sedang dia mengetahui bahwa hanya milik Allah-lah segala yang di langit dan di bumi?

Inilah letak keheranan sekaligus renungan pelajaran dalam samudra kehidupan yang penuh dengan cobaan dan godaan ini.
Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa tiada kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih besar dari kecintaan kepada Allah. Itulah surga dunia dan kenikmatan hakiki.

Kecintaan kepada Allah adalah kenikmatan jiwa, kehidupan ruh, kegembiraan diri, energi hati, cahaya akal, penyejuk mata dan kemakmuran batin. Tiada hal yang lebih nikmat dan lebih sejuk bagi hati yang sehat, jiwa yang baik, dan akal yang jernih dari kecintaan kepada Allah, rindu untuk beribadah kepada-Nya dan berjumpa dengan-Nya.

Kecintaan kepada Allah ialah ruh kehidupan, siapa yang luput darinya maka tergolong ke dalam bangkai-bangkai yang berjalan. Ia adalah cahaya, siapa yang tidak berbekal dengannya maka dia akan berada dalam lautan kegelapan. Ia adalah penyembuh, siapa yang tidak memilikinya maka hatinya akan terjangkit oleh seluruh penyakit. Dan ia adalah kelezatan, siapa yang tidak menemukannya maka hidupnya hanya sekedar gundah gulana dan kepedihan.

Kecintaan kepada Allah inilah yang mengantarkan hamba kepada negeri yang hanya dapat dicapai setelah menjalani berbagai rintangan dan kesulitan. Dan dengan cinta inilah, seorang hamba meraih kedudukan dan derajat yang didambakan oleh setiap hamba yang shalih.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Ada tiga perkara, yang barangsiapa perkara-perkara tersebut terdapat padanya, maka dia akan merasakan kelezatan iman, (yaitu) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, hendaknya dia cinta kepada seseorang, tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah dan hendaknya dia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”

Membahas masalah kecintaan kepada Allah adalah menyibak samudra yang sangat luas. Namun cukuplah di sini kita mengisyaratkan akan tiga hal.

Kecintaan kepada Allah adalah pondasi ibadah.

Berkata Ibnu Taimiyah, “Kecintaan kepada Allah, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk kewajiban yang paling agung, dasarnya yang paling besar dan pondasinya yang mulia. Bahkan dia adalah dasar setiap amalan, dari berbagai amalan keimanan dan agama.”

Ibnul Qayyim bertutur pula, “Pondasi ibadah adalah cinta kepada Allah. Bahkan mengesakan Allah adalah dengan kecintaan itu, di mana segala cinta hanya untuk Allah. Tidak boleh selain Allah dicintai bersama Allah. Akan tetapi kecintaannya hendaknya karena Allah dan pada Allah, sebagaimana dia mencintai para nabi dan rasul, para malaikat dan para wali. Kecintaannya kepada mereka adalah dari kesempurnaan kecintaannya kepada Allah dan bukan cinta kepada mereka bersama Allah.”

Maksudnya bahwa segala cinta itu hanya untuk Allah. Bila seorang hamba memberi cinta kepada makhluk, maka kecintaan tersebut juga karena Allah dan karena melaksanakan perintah-Nya, sebagaimana seorang mukmin cinta kepada para nabi, para malaikat, kaum mukminin dan selainnya. Adapun siapa saja yang mencintai makhluk dengan cinta ibadah, atau di samping cinta kepada Allah  dia juga mencintai makhluk maka hal tersebut tergolong perbuatan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari keislaman, sebagaimana dalam firman Allah,

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang  yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]

Tanda-tanda Cinta kepada Allah

Berikut ini beberapa ayat yang menjelaskan tanda-tanda kecintaan kepada Allah.

Di antaranya adalah firman Allah,

“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Âli ‘Imrân: 31]

Ayat ini menjelaskan bahwa tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah dengan mengikuti Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wa sallam dalam segala tuntunan dan syariat yang beliau bawa, secara zhahir maupun bathin.

Selanjutnya, firman Allah Ta’âlâ,

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al-Mâ`idah: 54]

Dalam ayat ini terdapat empat tanda kecintaan hamba kepada Allah:

Pertama, dia berlemah lembut kepada sesama mukmin.

Kedua, dia bersikap keras dan benci kepada orang-orang kafir.

Ketiga, dia berjihad di jalan Allah dengan segala kemampuannya, baik dengan harta, lisan, badan maupun hatinya.

Keempat, dia tidak takut terhadap celaan manusia dalam menjalankan perintah-perintah Allah ‘Azza wa Jalla.

Selain itu, dari tanda kecintaan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla adalah mendahulukan Allah dan Rasul-Nya di atas segala perkara. Allah Jalla Sya’nuhu berfirman,

“Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat-tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya,” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [At-Taubah: 24]

Dari tanda kecintaan hamba kepada Allah adalah benci kepada apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sebab-sebab Penumbuh Cinta kepada Allah

Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan sepuluh sebab yang akan menumbuhkan dan menambah rasa cinta seorang hamba kepada Rabb-nya. Berikut sepuluh sebab tersebut.

1.      Membaca Al-Qur`ân dengan tadabbur dan memahami maknanya.
2.      Memperbanyak ibadah nafilah (sunnah) setelah menunaikan ibadah-ibadah wajib.
3.      Memperbanyak dzikir kepada Allah dalam segala keadaan.
4.      Lebih mendahulukan pelaksanaan dari apa yang dicintai oleh Allah, walaupun hal tersebut menyelishi hawa nafsunya.
5.      Membawa hati untuk mencermati nama-nama dan sifat-sifat Allah dan menelusuri taman-tamannya.
6.      Menyaksikan kebaikan, kebajikan dan nikmat-nikmat Allah kepada makhluk-Nya.
7.      Menundukkan diri di hadapan Allah Subhânahu wa Ta’âla.
8.      Berkhalwat dan bermunajad kepada-Nya di waktu malam, terkhusus pada sepertiga malam terakhir.
9.      Duduk dengan orang-orang shalih.
10.  Menghindari segala sebab yang bisa memisahkan antara hatinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla.

Tentunya sepuluh sebab di atas bersumber dan dari berbagai keterangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang senantiasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan beramal dengan ketaatan. Wallâhu Ta’âla A’lam.

Sumber : almadinah.or.id

CARAKU MENJAGA CINTA

CARAKU MENJAGA CINTA
Sengaja aku tak menghubungimu, Tak juga mengirim pesan untuk menanyakan kabarmu.
Mungkin ini tak biasa,Tapi bagiku, Inilah cara terbaik mencintaimu.
Aku mencintaimu dengan cara menjauh darimu, Bukan karena aku mulai tak menyukaimu, Justru karena
aku sangat mencintaimu, Dan aku ingin menjagaku juga menjagamu, Menjaga tulusnya hatimu, juga menjaga
kesucian hatiku.
Inilah caraku mencintaimu,
Dalam diamku,
Dalam ketulusanku,
Dalam kesucianku,
Dalam cara tak biasaku,
Meski sulit, Meski berat, Meski sakit untukku, Namun ku tahu ini pilihan terbaik agar kita tak terlalu saling
mengharap.
Karena berharap hanya pantas pada Sang Pemilik Hati, Karena berharap hanya pantas digantungkan pada
Sang Pemilik Cinta, Pada-Nya kuharap Dia kan menjagamu untukku, Pada-Nya kutitipkan hatimu,
Biarlah ku hanya bisa menyapamu lewat senandung doa,
Agar Untukmulah segala kebaikan,
Agar bersamamulah segala keindahan.
InsyaAllah…
Aamiin Ya Rabbal’alaamiin

Perkara Yang. Menyia-nyiakan

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan: Ada
sepuluh perkara yang menyia-nyiakan dan tidak
mendatangkan kemanfaatan :
– Ilmu yang tidak diamalkan,
– Amal yang tidak ikhlas dan tidak mengikuti
tuntunan,
– Sesuatu yang tidak mengandung manfaat, dimana
orang tidak bisa menikmati manfaat apapun darinya
di dunia dan tidak membuahkan hasil apa-apa di
akherat,
– Hati yang kosong dari kecintaan terhadap Allah
serta tidak memiliki rasa rindu dan ketenangan
bersama-Nya,
– Tubuh yang tidak digunakan untuk ketaatan dan
berkhidmat kepada-Nya,
– Kecintaan yang tidak terikat dengan keinginan
untuk menggapai keridhaan Dzat Yang dicintai
(Allah) dan tidak terkait dengan keinginan untuk
melaksanakan perintah-perintah-Nya,
– Waktu yang terbuang sehingga tidak digunakan
untuk meraih pahala yang luput atau meraup
kebajikan serta kedekatan (kepada Allah),
– Pikiran yang melayang-layang menuju sesuatu yang
tidak berfaedah,
– Berkhidmat kepada sesuatu yang dengan
berkhidmat kepadanya tidak membuat anda
semakin dekat kepada Allah,
– Rasa takut dan harapan anda kepada hamba yang
ubun-ubunnya berada di tangan Allah dan menjadi
tawanan dalam genggaman-Nya.
Kesia-siaan yang paling parah ada pada dua hal;
yang itu menjadi sumber seluruh kesia-siaan, yaitu:
Menyia-nyiakan hati dan menyia-nyiakan waktu.
Menyia-nyiakan hati terjadi karena lebih
mengutamakan dunia daripada akherat. Adapun
menyia-nyiakan waktu terjadi karena terlalu panjang
angan-angan. (al-Fawaa’id)

Nasehat Buat Akhwat dan Ummahat

.::Pesan Ustadz Yazid bin Abdul Qadir jawwas pada Akhwat/Ummahat, & untuk istri qta::.

Dari BBM Assunnah- Depok

“Jangan kalian duduk dan berkumpul serta ngobrol hanya sesama kalian yg sudah kalian kenal saja,

Ajaklah dan dekatilah serta ajaklah saudari kalian yg baru menjemput hidayah (baru ‘ngaji’-pent) untuk berbicara.

Rangkullah…
Jangan sampai karena sikap perorangan, lantas terkena label Salafiyyun/Salafiyyah begini dan begini. -Nasalullaah Al `aafiyah-
Ada yang mengadu kepada saya, -seorang suami- yg istrinya baru ngaji tetapi dicuekkan oleh Akhwat/Ummahat yg sudah lama ngaji yg sibuk dengan teman yg sudah lama dia kenal..”
Demikian,________

Dan maaf, bagi Akhwat/Ummahat yg sudah berniqab, ketika duduk di majlis `Ilmu atau di tempat lain yg tak ada ajnabinya, bukalah niqab antunna…
Karena muka manis dan senyum antunna sangat berharga bagi saudari antunna…

Dan bagi yg mendapati saudari kita yang masih berpakaian tak seperti kita misalnya, ahsannya dijaga ‘pandangan kita’, maksudnya kalau kita memperhatikan mereka terus, mereka akan merasa minder, dst..
Sesungguhnya sikap welcom dr ummahat/akhawat yg sdh lama ngaji,sangat berarti dan menambah semangat bagi mereka yg br belajar ngaji…
Bagi yg tak lurus niatnya dan tak sabar, dia kapok utk hadir. Karena sudah dimulai oleh rasa illfeel. Ini sangat tak kita harapkan, krn kita telah serta merta membuat mereka lari.
Tataplah ia dengan Iman..:)
Sebagaimana kita menginginkan kebaikan padanya..
Sehingga benarlah apa yg dikatakan Syaikh Nashiruddin al Albani -rahimahullaah-, “Ajarkanlah Aqidah pada Ummat dan ajarkanlah Akhlak pada Salafiyyun”

Semangat ngaji, ada ‘ketimpangan’ yg mungkin tak kita sadari. Nasalullaah al `aafiyah Semoga Allaah memperbaiki akhlak kita.Allaahu yubaarik fiik

Nb: Manhaj Salaf Bukanlah Manhaj yang Eksklusif!

Memilih yang lebih maslahat

Pembahasan kali ini kembali mengangkat suatu kaedah fikih yang menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan maslahat orang lain atau orang banyak. Adapun jika berkaitan dengan diri pribadi, maka bisa kita lakukan sesuka kita. Misalnya, dalam shalat ketika jadi imam, hendaknya imam memperhatikan mana yang maslahat untuk jama’ah di belakangnya karena ada yang tua dan sakit. Sedangkan jika ia shalat sendiri, maka ia boleh memanjangkan shalat semau dia.

Penjelasan Kaedah
Kaedah ini disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin sebagai berikut,

ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺗﺼﺮﻑ ﻟﻐﻴﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺃﺣﺴﻦ ﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﺗﺼﺮﻑ
ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻓﻴﻔﻌﻞ ﻣﺎ ﻳﺸﺎﺀ ﻣﻤﺎ ﻳﺒﺎﺡ ﻟﻪ

“Wajib bagi yang berinteraksi dengan orang lain, maka hendaklah ia melakukan yang maslahat (bagi orang lain). Adapun yang berinteraksi untuk dirinya sendiri, maka ia boleh saja melakukan sekehendaknya selama dibolehkan.”  (Syarhul Mumthi’, 4: 193)
Syaikh Muhammad juga menyampaikan, “Jika seseorang disuruh memilih antara dua atau beberapa pilihan, jika maksudnya adalah untuk memilih mana yang lebih mudah, maka ia boleh memilih sesukanya. Namun jika maksudnya adalah untuk memilih yang maslahat, maka  hendaklah ia memilih yang lebih maslahat.
Karena dalam kaedah disebutkan, “Barangiapa memilih di antara dua perkara dan berkaitan dengan hak orang lain, maka hendaklah ia
memilih yang lebih maslahat, bukan memilih sesuka dirinya.” (Syarhul Mumthi’, 15: 157)
Dalil Kaedah
Dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَّﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻓَﻠْﻴُﺨَﻔِّﻒْ ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻣِﻨْﻬُﻢُ ﺍﻟﻀَّﻌِﻴﻒَ ﻭَﺍﻟﺴَّﻘِﻴﻢَ
ﻭَﺍﻟْﻜَﺒِﻴﺮَ ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَّﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻓَﻠْﻴُﻄَﻮِّﻝْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ

“Jika salah seorang di antara kalian menjadi imam, maka peringanlah shalatnya. Karena di antara jama’ah ada orang yang lemah, ada
yang sakit, ada yang sudah tua. Jika kalian shalat sendiri, maka silakan perpanjangan sekehendak kalian” (HR. Bukhari no. 703 dan Muslim no. 467).
Dalil di atas sudah sangat jelas menunjukkan maksud kaedah yang sedang kita kaji. Karena jika shalat sendiri, maka maslahatnya kembali
pada diri sendiri. Namun ketika menjadi imam,maka di belakangnya ada orang banyak, ada yang sakit, lemah dan sudah tua renta sehingga sulit jika memilih shalat dengan berdiri yang lama dan maslahatnya adalah kembalikan pada mana yang terbaik untuk mereka.

Penerapan Kaedah
1- Jika seseorang menjadi wakil dalam menjual suatu barang, maka hendaknya ia menjual dengan mempertimbangkan maslahat.
Dia hendaknya berusaha menjual barang tersebut sehingga mendapatkan untung dari harga yang ditetapkan. Berbeda halnya jika ia menjual barangnya sendiri, maka ia boleh menjual dengan harga lebih rendah semau dia.
2- Jika seseorang shalat sendiri (munfarid),ia boleh memanjangkan (memperlama) shalatnya. Namun jika ia mengimami lainnya,hendaklah ia memperhatikan maslahat orang di belakangnya.
3- Jika seseorang memandikan mayit tiga kali dan belum bersih, ia boleh menambah hingga bersih, bisa jadi dengan lima, tujuh atau lebih.
Jumlah ini kembali pada ijtihad (pendapat) orang yang memandikan. Namun bukan sesuka dia untuk menambah. Ia harus mempertimbangkan manakah yang lebih maslahat karena hal ini berkaitan dengan hak orang lain.
4- Ketika imam melaksanakan shalat khouf, maka ia memilih mana yang lebih maslahat bagi makmumnya.  Jika mungkin menyatukan jama’ah dalam sekali shalat, maka itu lebih baik.
5- Jika seseorang menunaikan kafaroh sumpah (termasuk nadzar), maka ia boleh memilih mana yang ia suka dari tiga pilihan: (1) memberi makan pada 10 orang miskin, (2) memberi pakaian pada 10 orang miskin, atau (3) membebaskan 1 orang budak. Jika tiga ini tidak bisa dilaksanakan, barulah ia memilih puasa tiga hari. Masalah ini berkaitan dengan individu, sehingga boleh memilih mana yang lebih disukai dari tiga pilihan tadi.
Semoga jadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca Rumaysho.com sekalian. Wallahu a’lam.
Referensi:
Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah ‘inda Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Turkiy bin ‘Abdillah bin Sholih Al Maiman, terbitan
Maktabah Ar Rusyd, tahun 1430 H, 2: 615-620.

@ Mabna 27, kamar 201, Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA
3 Rabi’ul Akhir 1434 H di pagi hari penuh berkah
http://www.rumaysho.com

Posted from WordPress for Android